
Artikel: Kamis, 16/10/25
Penulis:
Prof. Dr. Hufron, SH., MH. (Managing Partner HUFRON & RUBAIE)
Media sosial tengah diramaikan dengan tagar #BoikotTrans7, sebagai bentuk reaksi publik terhadap cuplikan program “Xpose Uncensored” di Trans7. Tayangan tersebut dinilai menyinggung kalangan pesantren karena menggambarkan santri dan kiai secara tidak pantas dan keluar dari konteks budaya mereka.
Gelombang protes pun bermunculan. Sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama dan ormas Islam menilai tayangan itu melecehkan simbol-simbol keagamaan. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), bahkan secara tegas menyampaikan keberatan dan menginstruksikan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU untuk menempuh langkah hukum.
Reaksi keras ini tidak mengherankan. Di banyak daerah, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah, pesantren masih menjadi pusat pendidikan, moral, dan spiritual masyarakat. Maka ketika lembaga seberpengaruh pesantren dijadikan bahan olok-olok di ruang publik, publik menilai media tersebut kehilangan empati sosial.
Dari sisi hukum, karya jurnalistik seperti “Xpose Uncensored” memang dilindungi oleh kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, kebebasan itu bukan tanpa batas.
UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan bahwa isi siaran tidak boleh menghina nilai-nilai agama, merendahkan martabat manusia, atau menyinggung kelompok sosial tertentu. Hal ini juga ditegaskan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan KPI, di mana setiap program wajib menghormati keberagaman budaya dan keyakinan masyarakat.
Hukum, pada hakikatnya, tidak berdiri di ruang hampa. Ia lahir dan hidup dalam konteks sosial-budaya masyarakat. Karena itu, menilai sebuah peristiwa hukum tidak cukup hanya membaca teks atau fakta permukaan, tetapi juga harus memahami nilai dan budaya yang melatarinya.
Kasus Trans7 ini menjadi contoh konkret. Ketika tradisi cium tangan santri kepada kiai dinarasikan sebagai “bentuk perbudakan”, hal itu menunjukkan, ketidaktahuan terhadap makna budaya pesantren. Dalam tradisi tersebut, mencium tangan bukan simbol ketundukan, melainkan bentuk adab, penghormatan, dan pengakuan spiritual terhadap guru.
Demikian pula ketika praktik santri memberi amplop kepada kiai dianggap sebagai tindakan “meminta-minta”. Padahal, di lingkungan pesantren, hal itu justru mencerminkan penghormatan dan rasa terima kasih atas ilmu serta pengabdian sang kiai kepada umat. Tanpa memahami konteks moral di balik tradisi tersebut, publik—bahkan penegak hukum—dapat dengan mudah tersesat dalam penilaian yang keliru.
Oleh karena itu, dalam membaca hukum, kita tidak boleh berhenti pada pembacaan tekstual (textual reading), tetapi juga perlu pembacaan moral (moral reading). Artinya, hukum harus dimaknai dengan mempertimbangkan nilai, tujuan, dan konteks sosial yang melingkupinya. Kasus Trans7 memperlihatkan betapa absennya moral reading dapat menimbulkan kesalahpahaman dan konflik yang sebenarnya bisa dihindari.
Filosofi Pesantren
Secara etimologis, kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi imbuhan pe- dan -an, yang berarti “tempat para santri belajar”. Namun, makna santri jauh lebih dalam dari sekadar “pelajar agama”.
Menurut Nurcholish Madjid, istilah santri berasal dari kata Jawa cantrik, yang berarti murid yang selalu mengikuti gurunya ke mana pun. Artinya, seorang santri bukan hanya menimba ilmu, tetapi juga mengabdikan diri untuk belajar nilai-nilai moral dan spiritual dari gurunya.
Antropolog Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren (1982) menjelaskan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan pusat pembentukan karakter moral masyarakat. Ia tumbuh dari denyut sosial masyarakat tradisional melalui empat pilar: pondok, masjid, kiai, dan santri.
Pesantren menanamkan nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan adab terhadap ilmu.Santri dididik untuk membersihkan hati dan menghormati guru sebelum memahami kitab. Bagi pesantren, ilmu bukan sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan jalan menuju kematangan spiritual.
Dari rahim pesantren inilah lahir tokoh-tokoh besar bangsa seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan penggagas Resolusi Jihad 1945, serta tokoh-tokoh lain seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Wahab Chasbullah.
Karena itu, tidak heran bila tayangan Trans7 tersebut menimbulkan kemarahan publik. Program itu dianggap melecehkan Mbah Yai War (KH. Anwar Manshur), pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri sekaligus Rais Syuriah PWNU Jawa Timur.
Dalam kultur pesantren, relasi santri dan kiai bukan hubungan hirarkis, melainkan ikatan spiritual dan moral. Kiai menjadi teladan hidup, bukan hanya guru agama. Karena itu, menggambarkan relasi tersebut secara dangkal berarti gagal memahami jantung kebudayaan pesantren.
Jalan Keluar
Fenomena #BoikotTrans7 seharusnya tidak sekadar menjadi luapan kemarahan, tetapi momentum refleksi bagi publik dan media. Masyarakat berhak mengingatkan media akan batas etika dan sensitivitas budaya, sementara media pun perlu memahami bahwa kebebasan berekspresi menuntut tanggung jawab moral.
Secara hukum, mekanisme pengawasan siaran sudah jelas. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui P3SPS menegaskan bahwa lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, dan budaya, serta menghindari tayangan yang dapat menyinggung atau merendahkan kelompok tertentu.
Selain itu, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mewajibkan media untuk menghormati norma agama dan kesusilaan masyarakat, melayani hak jawab, serta tunduk pada Kode Etik Jurnalistik yang diawasi Dewan Pers.
Dengan demikian, solusi dari kasus ini tidak cukup berhenti pada boikot atau sanksi hukum. Yang lebih penting adalah membangun kesadaran etik dan budaya di industri media. KPI bisa memberi teguran atau menghentikan tayangan, tetapi penyelesaian sejati datang dari perubahan sikap dan pemahaman.
Media juga bisa belajar dari prinsip tabayun dalam tradisi pesantren: ketika muncul kesalahpahaman, langkah terbaik adalah datang langsung, klarifikasi, dan meminta maaf dengan tulus. Tindakan sederhana ini jauh lebih bermakna dibanding sekadar pernyataan publik tanpa empati.
Lebih luas lagi, dunia penyiaran perlu menyadari bahwa tanggung jawab sosial bukanlah beban, tetapi kehormatan. Dalam masyarakat yang majemuk, media seharusnya menjadi ruang perjumpaan, bukan arena pertentangan.
Diperlukan ruang dialog kultural antara dunia media dan pesantren — misalnya lewat dokumenter edukatif, pelatihan literasi media bagi santri, atau forum diskusi lintas budaya. Pemerintah dan lembaga pendidikan komunikasi juga harus menanamkan kembali etika penyiaran berbasis nilai Pancasila.
Pada akhirnya, pesantren dan media punya misi yang sama: mendidik masyarakat. Pesantren mendidik lewat keteladanan dan kesabaran, sementara media mendidik lewat suara dan gambar. Bila keduanya saling memahami, ruang publik kita akan menjadi lebih beradab. Boikot memang bisa menggugah kesadaran, tapi dialog tetaplah jalan terbaik. Sebab kemarahan sejati bukan untuk memadamkan, melainkan menyalakan kembali kesadaran moral bahwa kebebasan berekspresi hanya bermakna bila disertai tanggung jawab terhadap sesama manusia—termasuk kepada pesantren dan nilai luhur yang dijaganya.
Punya masalah hukum dan butuh pandangan profesional? Silakan hubungi Kantor Hukum Hufron & Rubaie di 031-502 5926 / 085930253852 untuk mendapatkan konsultasi langsung dengan advokat berpengalaman.