Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H.Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sekretaris Pengurus Wilayah Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Timur
Dalam sistem presidensial, kita tidak mengenal mekanisme mosi tidak percaya sebagaimana lazimnya di negara-negara parlementer. Di sistem parlementer, parlemen bisa menjatuhkan perdana menteri, dan sebaliknya perdana menteri bisa membubarkan parlemen. Itulah ciri khas responsibility dan accountability yang dinamis.Indonesia memilih jalan lain. Pasca-amandemen UUD 1945, sistem presidensial ditegaskan secara murni. Presiden tidak bisa dijatuhkan hanya dengan alasan politik, melainkan hanya dengan mekanisme pemakzulan yang sangat ketat. Begitu pula sebaliknya, Presiden tidak bisa membubarkan DPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR. Itu adalah pagar konstitusional agar pengalaman kelam masa lalu—pembubaran DPR oleh Sukarno atau dekrit Abdurrahman Wahid—tidak terulang.DPR sendiri memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan yang jelas: fungsi legislasi untuk membuat undang-undang, fungsi anggaran untuk menyetujui dan mengawasi keuangan negara, serta fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah. Dengan kewenangan itu, DPR seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat sekaligus pengimbang Presiden dalam menjaga arah demokrasi dan jalannya pemerintahan.Namun, ada satu hal yang sering dilupakan: DPR, atau parlemen, secara etimologis berasal dari abad ke-11, dari kata “parler”, yang berarti “untuk berbicara”. Parlemen adalah the talking house, juru bicara rakyat, penyambung lidah rakyat. Ia adalah ruang di mana aspirasi rakyat diolah (agregasi), dikompilasi, dan ditransformasikan menjadi kebijakan publik.Masalah muncul ketika fungsi ini patah hubungan. Kehendak rakyat tidak lagi nyambung dengan kehendak DPR, karena yang sering lebih dominan adalah kehendak elite. Rakyat dibebani pajak, sementara DPR sibuk mengurus kenaikan tunjangan—bahkan dengan fasilitas pajak ditanggung negara. Maka wajar bila publik melontarkan seruan: “Bubarkan DPR!”.Tentu seruan itu bukan makna harfiah. Ia lebih merupakan sindiran moral dan teguran keras agar DPR bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Bahwa “pembubaran” di sini bukan berarti meniadakan lembaga perwakilan, melainkan membubarkan kesombongan, membubarkan kerakusan, dan membubarkan jarak antara wakil dan yang diwakili.Hikmah yang dapat dipetik dari seruan “bubarkan DPR” adalah bahwa demokrasi tanpa kepercayaan akan lumpuh, sebab ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada wakilnya, maka mekanisme checks and balances dalam sistem presidensial pun goyah. Karena itu, parlemen harus kembali ke akar katanya sebagai ruang berbicara untuk rakyat, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau elite. Dengan demikian, seruan “bubarkan DPR” jangan diartikan sebagai keinginan literal menghapus lembaga legislatif, melainkan sebagai jeritan rakyat yang ingin DPR kembali pada fungsinya: menjadi corong suara rakyat dan penjaga kepentingan publik.